Jumat, 27 Februari 2015

FILM DOKUMENTER


Di daerah-daerah, secara kuantitatif lebih banyak pegiat film yang membuat film cerita ketimbang film dokumenter. Hal ini mudah dipahami, karena konsep film cerita sangat identik dengan konsep dongeng yang “secara otomatis” ada di setiap kepala orang. Dapat dikatakan bahwa bagi para filmmaker pemula lebih mudah membuat film cerita ketimbang film dokumenter. Ya, dokumenter itu “ribet”, perlu riset segala macam. Tapi sesungguhnya membuat film dokumenter itu memiliki keasyikan tersendiri. Asal jangan salah tafsir terhadap konsep dokumenter.

DOCUMENTARY / DOKUMENTER. Film yang mendokumentasikan cerita nyata, dilakukan pada lokasi yang sesungguhnya. Juga sebuah gaya dalam memfilmkan dengan efek realitas yang diciptakan dengan cara penggunaan kamera, suara, dan lokasi. Selain mengandung fakta, film dokumenter juga mengandung subjektivitas pembuatnya, yakni sikap atau opini pribadi terhadap suatu peristiwa. Karena itu, film dokumenter bisa menjadi wahana untuk mengungkapkan realitas dan menstimulasi perubahan.
Kekhasan film dokumenter adalah posisinya yang mengkombinasikan dua hal: sains dan seni. Dengan kata lain, film dokumenter adalah “fakta yang disusun secara artistik”, mengungkapkan berbagai kondisi dan masalah manusia. Hasilnya kadang terasa kontroversial, karena kebanyakan yang diungkap adalah masalah-masalah yang tak terpecahkan. Film dokumenter adalah ekspresi perjuangan manusia untuk memahami dan memperbaiki diri sendiri.

Tahun 1920 merupakan periode penting bagi pemikiran film dokumenter. Istilah ini dipopulerkan oleh John Grierson (Inggris) untuk menyebut karya Robert Flaherty (AS) berjudul Moana (1926). Grierson kemudian mengembangkan tradisi pembuatan film dokumenter di lnggris dan Kanada dengan menyebut film dokumenter sebagai perlakuan kreatif atas sebuah peristiwa. Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Genre film ini semakin berkembang dan mampu meraih sukses di bioskop-bioskop melalui film-film seperti Super Size Me (Morgan Spurlock, 2004), March of the Penguins (Luc Jacquet, 2005) dan An Inconvenient Truth (Davis Guggenheim, 2006). Apabila dibandingkan dengan film drama naratif, film dokumenter biasanya dibuat dengan anggaran yang jauh lebih murah.

Kamera video digital dan editing komputer telah memberi sumbangan besar pada para sineas dokumenter. Film pertama yang dibuat dengan berbagai kemudahan fasilitas ini adalah dokumenter karya Martin Kunert dan Eric Manes, Voices of Iraq. Sebanyak 150 buah kamera DV dikirim ke Iraq sepanjang perang dan dibagikan kepada warga Irak untuk merekam diri mereka sendiri.

DOCUDRAMA. 1. Dari istilah documentary drama (drama dokumenter), yakni suatu film atau drama televisi yang mengangkat cerita berdasarkan kisah nyata. 2. Genre film dokumenter yang beberapa bagian filmnya disutradarai atau diatur terlebih dahulu dengan perencanaan yang mendetail. Dokudrama muncul sebagai jawaban atas permasalahan mendasar film dokumenter, yakni untuk memfilmkan peristiwa yang sudah ataupun belum pernah terjadi. Dalam dokudrama, terjadi reduksi realita demi tujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap menjadi pegangan.

Catatan:
  1. Definisi dua istilah tersebut dikutip dari Kamus Istilah Televisi dan Film (Gramedia), karya Ilham Zoebazary, dosen Prodi Televisi & Film (PSTF) Fak. Sastra Univ. Jember – Jawa Timur.
  2. Sesungguhnya membuat film dokumenter tidak semudah yang disangka orang. Proses yang dilakukan, mulai dari pra-produksi, produksi, hingga pasca-produksi sangat berbeda karakternya dengan ketika kita mengerjakan film cerita. Jika film cerita sepenuhnya bersifat fiktif (meskipun ide cerita bisa saja berasal dari kisah nyata), sebaliknya film dokumenter bersifat non-fiktif, alias nyata senyata-nyatanya. Dalam film dokumenter, kehadiran seorang sutradara adalah pada posisi estetis. Sutradara menjadikan realitas di hadapannya sebagai “raw material” (bahan mentah) yang klemudian diolahnya menjadi produk seni yang penuh estetika. Dengan demikian suatu peristiwa yang benar-benar ada “diartikulasikan” oleh sutradara sehingga menjadi pesan yang disampaikan pada para pemirsa.
  3. Sutradara film dokumenter menjadikan suatu peristiwa keseharian menjadi “mitos”. Artinya, peristiwa keseharian tersebut berubah menjadi “peristiwa baru” yang disuguhkan oleh sang sutradara. Apa yang menjadikannya sebagai peristiwa baru adalah: sudut pandang sutradara, kepekaan sutradara dalam memilih elemen-elemen cerita / peristiwa, kemampuan teknis para anggota / kru produksi.
  4. Film/video dokumenter sangat berbeda dengan film/video dokumentasi. Yang terakhir ini tidak ada sangkut-pautnya dengan sudut pandang (dan ideologi) sutradara, karena isi dokumentasi hanya kumpulan gambar yang disusun sedemikian rupa sesuai dengan selera pembuatnya. Film/video dokumenter tidak membawa pesan apa pun kecuali kenangan atau ingatan atas sebuah peristiwa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar